Rabu, 19 Agustus 2015

Politik Isam Ibnu Abi Rabi


Tidak banyak yang kita ketahui tentang ilmuwan politik islam itu selain sebagai penulis buku yang berjudul Suluk Al-Malik fi Tadbir al-mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang dipersembahkan kepada mu’tashim, khalifah Ab-basyiah kedelapan yang memerintah pada abad IX Masehi. Pada awal abad XVI Niecolo Machiavelli menulis buku berjudul ll principe (Sang Pangeran) dan dipersembahkan  kepada Lorenzo di Medici, penguasa di Florence, Italia.
Karena buku itu oleh Ibnu Abi Rabi’ di tulis untuk dipersembahkan kepada kepala Negara yang sedang berkuasa dapatlah dipastikan bahwa penulis buku itu tidak akan mempertanyakan keabsahan sistem monarki turun temurun abbasyiah, dan sebaliknya bahkan mendukungnya. Sementara itu memangdinasti Abbasyiah semasa pemerintahan Mu’tashim masih berada  pada puncak kejayaannya. Dalam kata pendahuluan buku itu, Ibnu Abi Rabi’ mengatakan adalah “satu kebahagiaan bagi umat pada zaman ini bahwa pemimpin mereka, pengemban kekuasaan politik. Merka dan raja mereka adalah seorang yang pada dirinya berkumpul segala kualitas yang baik, tambang dari segala watak luhur dan pengumpul dari segala yang terpuji, panutan mereka, pemimpin dan raja mereka, khalifah Alloh bagi hamba-hambanya dan yang berjalan dia atas jalan yang benar Mu’tashim bi-Alloh, Amir al-Mu’minin, keturunan Al-Khulafa al-Rasyidin, yang melaksanakan hukum secara benar dan adil, yang memiliki semua persyaratan bagi jabatan khalifsh dan imamah, dan yang karena meratanya keadilan dan keamanan maka semua bangsa tunduk kepadanya, semua kerajaan takluk kepadanya, dan baik lawan maupun kawan dari kalangan bangsawan hormat dan segan kepadanya,” juga sesuai dengan judulnya, sebagian besar dari isi buku itu berupa nasihat-nasihat kepada khalifah tentang bagaimana menangani masalah-masalah kenegaraan, termasuk bagaimana memilih pembantu dan pejabat Negara, serta hubungan kerja antara khalifah dengan mereka. Tetapi sekalipun demikian dapat pula kita lihat alur-alur pikiran nya tentang tata Negara.

Asal Mula Tumbuhnya Kota atau Negara
            Sebagaimana Plato, Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa manusia, orang seorang, tidak mungkin dapat mencukupi kebutuhan alaminya sendiri tanpa bantuan yang lain, dan oleh karena nya mereka saling memerlukan.Hal itu mendorong mereka saling membantu dan berkumpul serta menetap di satu tempat. Dari proses demikianlah maka tumbuh kota-kota. Menurut Ibnu Abi Rabi’, hal-hal yang  tidak dapat ditinggalkan dalam hidup manusia, dan untuk mengadakannya memerlukan nya bantuan pihak lain seperti : pakaian untuk melindungi diri dari gangguan udara panas, udara dingin dan angin; tempat tinggal yang aman terhadap berbagai mara bahaya; reproduksi dan  penangkaran yang menjamin kelangsungan eksistensi atau kehadiran umat manusia di bumi ini, dan pelayanan kesehatan . plato mengatakan bahwa  kebutuhan alami yang terpenting bagi manusia adalah pangan, kemudian tempat tinggal dan pakaian. Jumlah penduduk  makin meningkat, kota dengan batas-batasnya menjadi terlalu sempit, juga lahan pertanian dan  wilayah gembalaan ternak memerlukan perluasan, sehingga dapat menimbulkan bentrokan-bentrokan kepentingan dengan kota-kota yang lain. Maka di perlukan kelompok bersenjata yang terlatih untuk membela untuk kepentingan kota itu terhadap kota-kota tetangga, dan juga seorang kepala yang berwibawa dan mampu menyelesaikan sengketa antara warga-warga kota dan pemimpin kotanya menghalau serangan dan ancaman dari luar.

Pengaruh Akidah Islam
Ibnu Abi Rabi’ sebagai seorang islam dia tidak dapat lepas dari pengaruh akidah agamanya. Dia memasukkan paham ketuhanan dan memperpadukan nya dengan teorinya tentang asal mula Negara. Kalau menurut pemikir-pemikir Yunani seperti Plato dan Aristoteles, fitrah manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup diluar masyarakat, maka Ibnu Abi Rabi’ mengatakan bahwa Alloh telah menciptakan  manusia dengan watak yang cenderung untuk berkumpul dan bermasyarakat, dan yang tidak mampu memenuhi segala kebutuhan nya sendiri tanpa bantuan orang lain. Tuhanpun mengangkat untuk mereka [penguasa-penguasa yang melaksanakan peraturan-peraturan itu dan mempergunakannya guna menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan  kebutuhanny, serta untuk mengikis pelanggaran dan penganiyayaan antara sesame anggota masyarakat yang dapat merusak kebutuhannya. Ibnu Abi Rabi’ menambahkan tiga butir pengertian dari pemikir-pemikir yunani: Pertama, kecendrungan manusia untuk berkumpul dan bermasyarakat ituwatak yang diciptakan oleh Tuhan pada manusia; kedua, Tuhan telah meletakkan peraturan-peraturan tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota masyarakat sebagai rujukan dan harus dipatuhi dan peraturan-peraturan itutercantum dalam kitab suci Al-Quran; dan ketiga Allah telah mengangkat penguasa-penguas yang bertugas menjaga berlakunhya peraturan-peraturan rakyat dari Tuhan itu dan mengelola masyarakat berdasarkan petunjuk-petunjuk Illahi.
            Ibu Abi Rabi’ mengatakan, manusia bukanlah malaikat yang kebal godaan dan tidak pernah berbuat jahat. Menurut Ibnu Abi Rabi’ terdapat tiga macam kejahatan: pertama, kejahatan yang datang dari diri manusia sendiri; kedua, kejahatan yang datang dari sesame warga masyarakat; ketiga, kejahatan yang datang dari masyarakat atau orang-orang di kota ,lain. Adapun cara mengatasi tiga macam kejahatan itu berbeda satu sama lin. Macam kejahatan yang pertama dapat dihalangi dengan mengikuti perilaku atau pola hidup yang terpuji, pengendalian diri dan penggunaan akal dalam penyellesaian dalam segala persoalan. Macam kejahatan yang kedua dapat dicegah dengan memberlakukan hukum atau undang-undang dan peraturan yang telah diletakkan (oleh Allah) untuk kepentingan manusia dan kesejahteraan umum. Adapun kejahatan yang ketiga dan terakhir dapat dihalangi dengan membangun pagar-pagar tembok yang tinggi dan menggali parit-parit yang dalam,serta membangun angkatan yang bersenjata

Bentuk Pemerintahan
            Setelah lahir kota atau negaramaka timbul masalah tentang siapa otak pengelola Negara itu, yang memimpinnya, mengurus segala permasalahan rakyatnya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin suatu Negara berdiri tanpa penguasa.
            Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, Ibnu Abi Rabi’ memilih monarkiatau kerajaan dibawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal, sebagai bentuk terbaik. Dia menolak bentuk-bentuk lain seperti Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang berada ditangan sekelompok kecil orang-orang pilihan atas dasar keturuan atau kedudukan; Oligargi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya; Demokrasi, yaitu Negara diperintah langsung oleh seluruh warga Negara; dan lebih lebih Demagogi, ialah apabila para warganya memanfaatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh demokrasi secara tidak bertanggung jawab, yang kemudian menimbulkan kekacauan atau Anarki. Alasan utama mengapa Ibnu Abi Rabi’ memilihi monarki sebagai bentuk pemeringtahan yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik Negara akan terus kacau dan sukar membina persatuan.
            Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa menurut Aritoteles terdapat tiga macam pemerintahan: Pertama,yang dipimpin oleh seorang; Kedua, yang dipimpin oleh sejumlah orang pilihan; dan Ketiga, yang diperingtah secara langsung oleh semua warga Negara. Negara yang dikelola langsung oleh seluruh warga Negara untuk kepentingan bersama, pemerintahan semacam itu disebut konstitusi. Tetapi kalau sang raja atau penguasa tunggal itu menyeleweng, perhatian tidak lagi pada kepentingan rakyat dan Negara, serta bergeser pada kepentingan pribadi raja, maka tidak lagi dapat disebut monarki tetapi tirani. Demikian juga aristokrasi, kalau titik berat perhatiannya hanya pada kepentingan golongan tertentu, yakni mereka yang berkedudukan tinggi dan berada, disebut oligarki.Kalau perhatian pemerintahan konstitusi menjadi terbatas kepada kepentingan warga Negara yang miskin saja, disebut demokrasi.
            Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, memberikan alasan rasional mengenai alasan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahawa seorang raja “yang memiliki segala keutamaan” yang serba lebih dari para warga Negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Negara, dan tidak harus tunduk kepada hukum Negara seperti warga-warga yang lain. Ibdu Abi Rabi’ mencari dasar bagi otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama.Dia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan telah memperkokoh kedudukan mereka dibumi-Nya, dan mempercayakan hamba-hamba-Nya kepada mereka. Dalam hubungan ini dia mengemukakan dua ayat al-qur’an ini :
1)      “Dan Dia (Allah) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan sebagian dari kalian atas sebagian (yang lain) beberapa tingkat.” (Q.S. Al-An’am : 165)
2)      “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya) dan pemimpin-pemimpin kalian.” (Q.S. An-Nissa : 59)

Dari pernyataan Ibnu Abi Rabi’ tersebut tampak bahwa menurut dia dasar kekuasan dan otoritas raja adalah mandate dari Tuhan, yang telah memberikan kedudukan istimewakepada mereka dengan keutamaan dengan keunggulan, telah memperkokoh kekuasaan mereka di Negara mereka, dan telah memberikan hak kepada mereka untuk memerintah hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya, dari semua tingkatan, untuk taat dan tunduk kepada merekademi kesejahteraan Negara. Ibnu Abi Rabi’ mengemukakan enam syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat menjadi raja, yaitu :
1.      Harus anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan-hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya.
2.      Aspirasi yang luhur
3.      Pandangan yang mantap dan kokoh
4.      Katahanan dalam menghadapi kesukaran/tantangan
5.      Kekayaan yang besar
6.      Pembantu-pembantu yang setia.

Suatu hal yang cukup menarik, bahwa berbeda denagn kebanyakan pemikir politik-politik islam, dia tidak menjadikan keturunan Quraisy sebagai sebagai salah satu syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah atau kepala Negara. Sikap lunak Ibnu Abi Rabi’ ini mungkin diasebabkan oleh karena dinasti Abbasyiyah semasa pemerintahan khalifah mu’tasim masih sedemikian kokoh, sehingga tidak terbayangkan jabatan kepala Negara dapat jatuh ke pihak lain diluar keturunan Abbas, yaitu salah satu cabang dari bani (keturunan Hasyim), salah satu komponen terkemuka dari suku Quraisy. Ibnu Abi Rabi’ tidak menyinggung pula cara pengangkatan kepala Negara, oleh karena sebagaimana semasa kekuasaan Ummawiyah dalam “kamus politik” Abbasyiyah tidak ada sistem lain kecuali turun temurun, bahkan lebih ketat dan kental.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar