Tidak banyak yang kita ketahui tentang ilmuwan politik
islam itu selain sebagai penulis buku yang berjudul Suluk Al-Malik fi Tadbir
al-mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan kerajaan-kerajaan), yang
dipersembahkan kepada mu’tashim, khalifah Ab-basyiah kedelapan yang memerintah
pada abad IX Masehi. Pada awal abad XVI Niecolo Machiavelli menulis buku
berjudul ll principe (Sang Pangeran)
dan dipersembahkan kepada Lorenzo di
Medici, penguasa di Florence, Italia.
Karena buku itu oleh Ibnu Abi Rabi’ di tulis untuk
dipersembahkan kepada kepala Negara yang sedang berkuasa dapatlah dipastikan
bahwa penulis buku itu tidak akan mempertanyakan keabsahan sistem monarki turun
temurun abbasyiah, dan sebaliknya bahkan mendukungnya. Sementara itu
memangdinasti Abbasyiah semasa pemerintahan Mu’tashim masih berada pada puncak kejayaannya. Dalam kata
pendahuluan buku itu, Ibnu Abi Rabi’ mengatakan adalah “satu kebahagiaan bagi
umat pada zaman ini bahwa pemimpin mereka, pengemban kekuasaan politik. Merka
dan raja mereka adalah seorang yang pada dirinya berkumpul segala kualitas yang
baik, tambang dari segala watak luhur dan pengumpul dari segala yang terpuji,
panutan mereka, pemimpin dan raja mereka, khalifah Alloh bagi hamba-hambanya
dan yang berjalan dia atas jalan yang benar Mu’tashim bi-Alloh, Amir
al-Mu’minin, keturunan Al-Khulafa al-Rasyidin, yang melaksanakan hukum secara
benar dan adil, yang memiliki semua persyaratan bagi jabatan khalifsh dan
imamah, dan yang karena meratanya keadilan dan keamanan maka semua bangsa
tunduk kepadanya, semua kerajaan takluk kepadanya, dan baik lawan maupun kawan
dari kalangan bangsawan hormat dan segan kepadanya,” juga sesuai dengan
judulnya, sebagian besar dari isi buku itu berupa nasihat-nasihat kepada
khalifah tentang bagaimana menangani masalah-masalah kenegaraan, termasuk
bagaimana memilih pembantu dan pejabat Negara, serta hubungan kerja antara
khalifah dengan mereka. Tetapi sekalipun demikian dapat pula kita lihat
alur-alur pikiran nya tentang tata Negara.
Asal Mula Tumbuhnya Kota atau Negara
Sebagaimana Plato,
Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa manusia, orang seorang, tidak mungkin dapat
mencukupi kebutuhan alaminya sendiri tanpa bantuan yang lain, dan oleh karena
nya mereka saling memerlukan.Hal itu mendorong mereka saling membantu dan
berkumpul serta menetap di satu tempat. Dari proses demikianlah maka tumbuh
kota-kota. Menurut Ibnu Abi Rabi’, hal-hal yang
tidak dapat ditinggalkan dalam hidup manusia, dan untuk mengadakannya
memerlukan nya bantuan pihak lain seperti :
pakaian untuk melindungi diri dari gangguan udara panas, udara dingin dan
angin; tempat tinggal yang aman
terhadap berbagai mara bahaya; reproduksi
dan penangkaran yang menjamin kelangsungan eksistensi atau kehadiran
umat manusia di bumi ini, dan pelayanan
kesehatan . plato mengatakan bahwa
kebutuhan alami yang terpenting bagi manusia adalah pangan, kemudian
tempat tinggal dan pakaian. Jumlah penduduk
makin meningkat, kota dengan batas-batasnya menjadi terlalu sempit, juga
lahan pertanian dan wilayah gembalaan
ternak memerlukan perluasan, sehingga dapat menimbulkan bentrokan-bentrokan
kepentingan dengan kota-kota yang lain. Maka di perlukan kelompok bersenjata
yang terlatih untuk membela untuk kepentingan kota itu terhadap kota-kota
tetangga, dan juga seorang kepala yang berwibawa dan mampu menyelesaikan
sengketa antara warga-warga kota dan pemimpin kotanya menghalau serangan dan
ancaman dari luar.
Pengaruh Akidah Islam
Ibnu Abi Rabi’ sebagai seorang islam dia tidak dapat
lepas dari pengaruh akidah agamanya. Dia memasukkan paham ketuhanan dan
memperpadukan nya dengan teorinya tentang asal mula Negara. Kalau menurut
pemikir-pemikir Yunani seperti Plato dan Aristoteles, fitrah manusia adalah
makhluk sosial yang tidak dapat hidup diluar masyarakat, maka Ibnu Abi Rabi’
mengatakan bahwa Alloh telah menciptakan
manusia dengan watak yang cenderung untuk berkumpul dan bermasyarakat,
dan yang tidak mampu memenuhi segala kebutuhan nya sendiri tanpa bantuan orang
lain. Tuhanpun mengangkat untuk mereka [penguasa-penguasa yang melaksanakan
peraturan-peraturan itu dan mempergunakannya guna menjaga tata tertib kehidupan
masyarakat dan kebutuhanny, serta untuk
mengikis pelanggaran dan penganiyayaan antara sesame anggota masyarakat yang dapat
merusak kebutuhannya. Ibnu Abi Rabi’ menambahkan tiga butir pengertian dari
pemikir-pemikir yunani: Pertama, kecendrungan
manusia untuk berkumpul dan bermasyarakat ituwatak yang diciptakan oleh Tuhan
pada manusia; kedua, Tuhan telah
meletakkan peraturan-peraturan tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota
masyarakat sebagai rujukan dan harus dipatuhi dan peraturan-peraturan
itutercantum dalam kitab suci Al-Quran; dan ketiga
Allah telah mengangkat penguasa-penguas yang bertugas menjaga berlakunhya peraturan-peraturan
rakyat dari Tuhan itu dan mengelola masyarakat berdasarkan petunjuk-petunjuk
Illahi.
Ibu Abi Rabi’
mengatakan, manusia bukanlah malaikat yang kebal godaan dan tidak pernah
berbuat jahat. Menurut Ibnu Abi Rabi’ terdapat tiga macam kejahatan: pertama, kejahatan yang datang dari diri
manusia sendiri; kedua, kejahatan yang
datang dari sesame warga masyarakat;
ketiga, kejahatan yang datang dari masyarakat atau orang-orang di kota
,lain. Adapun cara mengatasi tiga macam kejahatan itu berbeda satu sama lin.
Macam kejahatan yang pertama dapat
dihalangi dengan mengikuti perilaku atau pola hidup yang terpuji, pengendalian
diri dan penggunaan akal dalam penyellesaian dalam segala persoalan. Macam
kejahatan yang kedua dapat dicegah
dengan memberlakukan hukum atau undang-undang dan peraturan yang telah
diletakkan (oleh Allah) untuk kepentingan manusia dan kesejahteraan umum.
Adapun kejahatan yang ketiga dan
terakhir dapat dihalangi dengan membangun pagar-pagar tembok yang tinggi dan
menggali parit-parit yang dalam,serta membangun angkatan yang bersenjata
Bentuk Pemerintahan
Setelah lahir kota atau negaramaka timbul masalah tentang siapa otak
pengelola Negara itu, yang memimpinnya, mengurus segala permasalahan rakyatnya.
Hal ini disebabkan karena tidak mungkin suatu Negara berdiri tanpa penguasa.
Dari sekian banyak
bentuk pemerintahan, Ibnu Abi Rabi’ memilih monarkiatau
kerajaan dibawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal, sebagai bentuk
terbaik. Dia menolak bentuk-bentuk lain seperti Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang berada ditangan sekelompok
kecil orang-orang pilihan atas dasar keturuan atau kedudukan; Oligargi, yaitu pemerintahan yang
dipegang oleh sekelompok kecil orang kaya; Demokrasi,
yaitu Negara diperintah langsung oleh seluruh warga Negara; dan lebih lebih Demagogi, ialah apabila para warganya
memanfaatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh demokrasi secara tidak
bertanggung jawab, yang kemudian menimbulkan kekacauan atau Anarki. Alasan
utama mengapa Ibnu Abi Rabi’ memilihi monarki
sebagai bentuk pemeringtahan yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan
banyak kepala, maka politik Negara akan terus kacau dan sukar membina
persatuan.
Dalam hubungan ini
dapat dikemukakan bahwa menurut Aritoteles terdapat tiga macam pemerintahan: Pertama,yang dipimpin oleh seorang; Kedua, yang dipimpin oleh sejumlah orang
pilihan; dan Ketiga, yang diperingtah
secara langsung oleh semua warga Negara. Negara yang dikelola langsung oleh
seluruh warga Negara untuk kepentingan bersama, pemerintahan semacam itu
disebut konstitusi. Tetapi kalau sang
raja atau penguasa tunggal itu menyeleweng, perhatian tidak lagi pada
kepentingan rakyat dan Negara, serta bergeser pada kepentingan pribadi raja,
maka tidak lagi dapat disebut monarki tetapi tirani. Demikian juga aristokrasi, kalau titik berat perhatiannya
hanya pada kepentingan golongan tertentu, yakni mereka yang berkedudukan tinggi
dan berada, disebut oligarki.Kalau perhatian pemerintahan konstitusi menjadi
terbatas kepada kepentingan warga Negara yang miskin saja, disebut demokrasi.
Aristoteles, yang
berpendirian bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, memberikan
alasan rasional mengenai alasan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahawa
seorang raja “yang memiliki segala keutamaan” yang serba lebih dari para warga
Negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari Negara, dan tidak harus tunduk
kepada hukum Negara seperti warga-warga yang lain. Ibdu Abi Rabi’ mencari dasar
bagi otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama.Dia mengatakan, Allah
telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan telah
memperkokoh kedudukan mereka dibumi-Nya, dan mempercayakan hamba-hamba-Nya
kepada mereka. Dalam hubungan ini dia mengemukakan dua ayat al-qur’an ini :
1) “Dan
Dia (Allah) yang menjadikan kalian penguasa-penguasa dibumi dan Dia meninggikan
sebagian dari kalian atas sebagian (yang lain) beberapa tingkat.” (Q.S.
Al-An’am : 165)
2) “Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya) dan
pemimpin-pemimpin kalian.” (Q.S. An-Nissa : 59)
Dari pernyataan Ibnu Abi Rabi’ tersebut tampak bahwa
menurut dia dasar kekuasan dan otoritas raja adalah mandate dari Tuhan, yang
telah memberikan kedudukan istimewakepada mereka dengan keutamaan dengan
keunggulan, telah memperkokoh kekuasaan mereka di Negara mereka, dan telah
memberikan hak kepada mereka untuk memerintah hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia
telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya, dari semua tingkatan, untuk taat
dan tunduk kepada merekademi kesejahteraan Negara. Ibnu Abi Rabi’ mengemukakan
enam syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat menjadi raja, yaitu
:
1. Harus
anggota dari keluarga raja, dan mempunyai hubungan-hubungan nasab yang dekat
dengan raja sebelumnya.
2. Aspirasi
yang luhur
3. Pandangan
yang mantap dan kokoh
4. Katahanan
dalam menghadapi kesukaran/tantangan
5. Kekayaan
yang besar
6. Pembantu-pembantu
yang setia.
Suatu hal yang cukup menarik, bahwa berbeda denagn
kebanyakan pemikir politik-politik islam, dia tidak menjadikan keturunan
Quraisy sebagai sebagai salah satu syarat untuk dapat menduduki jabatan
khalifah atau kepala Negara. Sikap lunak Ibnu Abi Rabi’ ini mungkin diasebabkan
oleh karena dinasti Abbasyiyah semasa pemerintahan khalifah mu’tasim masih
sedemikian kokoh, sehingga tidak terbayangkan jabatan kepala Negara dapat jatuh
ke pihak lain diluar keturunan Abbas, yaitu salah satu cabang dari bani
(keturunan Hasyim), salah satu komponen terkemuka dari suku Quraisy. Ibnu Abi
Rabi’ tidak menyinggung pula cara pengangkatan kepala Negara, oleh karena sebagaimana
semasa kekuasaan Ummawiyah dalam “kamus politik” Abbasyiyah tidak ada sistem
lain kecuali turun temurun, bahkan lebih ketat dan kental.