Diskusi mengenai apakah Islam mempunyai konsepsi
tentang sistem kenegaraan atau tidak, nampaknya terus menjadi topic yang
menarik untuk dibicarakan.Para ilmuan dan aktifis dalam decade terakhir ini
termasuk ilmuwan Indonesia terutama sekali intelektual kampus sering
mendikusikannya.Bermacam pendapat telah muncul
dalam rangka menganalisis teori tentang kependudukan Negara dalam agama
Islam. Tempaknya pengelompokan kepada tiga golongan seperti disimpulkan oleh H.
Munawir Sjadzali mewarnai klasifikasi visi para pakar Islam masa kontemporer
mengenai konsepsi Negara dalam Islam
Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama
yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia
termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara.Golongan ini menyatakan bahwa dalam
bernegara, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, tetapi
sebaliknya hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam.Lebih konkret
lagi sistem ketatanegaraan yang dijadikan sebagai acuan adalah sistem Negara
yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin dimasa awal
perkembangan Islam.
Golongan kedua berpendirian bahwa Islam adalah
sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik
dan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biaa
seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk mengajak
manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik.Menurut pendapat
golongan ini, tidak pernah bertugas dan atau bermaksud untuk mendirika dan
mengepalai suatu Negara.golongan ketiga tidak sependapat bahwa Islam merupakan
suatu agama yang serba lengkap yang didalamnya juga mengatur suatu sistem
kenegaraan yang lengkap pula. Namun, aliran ini tidak sependapat pula bila
Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan.
Menurut mereka Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk
pokok saja.Karena itu, menurut mereka, kendatipun dalam Islam tidak terdapat
sistem ketatanegaraan dalam artian teori lengkap, namun disana terdapat
sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.
Apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama
mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam –apakah dalam Islam
diajarkan atau dituntut agar mendirikan Negara atau tidak- kenyataannya umat
Islam selalu membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami. Karena,
bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu kekuatan
(institusi politik).Untuk menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan
ketertiban misalnya, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik
atau Negara.Andaikata kebijaksanaaan-kebijaksanaan itu mengacu kepada tegaknya
ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturan keamanannya seharusnya yang
Islami pula.Adalah suatu hal yang kurang tepat bila ingin menegakkan segala
prinsip-prinsip Islami tetapi menggunakan sistem yang non Islami.Dari sudut
inilah umat Islam membutuhkan sebuah Negara dengan sistem yang Islami.
Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa Negara itu
dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah.Misalnya, ketika nabi masih di
Mekkah (611-622) tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena
kekuatan politik didominasi oleh kaum aristocrat Quraisy yang memusuhi
nabi.Tetapi setelah hijrah ke Madinah, dimana nabi telah mempunyai komunitas
sendiri yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatan
menggunakan aturan yang disepakati bersama berupa Piagam Madinah.
Kehidupan nabi bersama umatnya pada periode Madinah
ini (622-632), oleh banyak pakar dianggap sebagai kehidupan yang
bernegara.Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan
sebagai argumrn bahwa ketika itu telah terwujud sebuah Negara, baik itu
wilayah, masyarakat, maupun penguasa.Demikian juga penilaian terhadap nabi
ketika itu telah bertindak tidak hanya sebagai nabi tapinjuga sebagai kepala
Negara, missalnya memutuskan hukum, mengirim dan menerima urusan dan juga
memimpin peperangan.
Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah nabi
tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan
Negara itu, misalnya bagaimana sistem pengangkatan kepala Negara itu, siapa
yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala Negara bertanggung
jawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Untuk mengikuti nabi
sepenuhnya tentu tidak mungkin.Pertama,
dia sebagai seorang rasul yang selalu mendapat petunjuk dari Allah.Kedua, dari kenyataan terlihat
ketundukan rakyat padanya pada dasarnya karena beliau sebagai rasul Allah,
kendatipun dia tetap memperlihatkan dimensi-dimensi manusia biasa.Ketiga, hukum yang diberlakukan lebih
banyak berdasarkan wahyu Allah bahkan ucapan dan tindakan-tindakannya pun
selalu mendapat pengawasan dari Allah.
Karena ketidakjelasan inilah kita lihat praktik
sistem kenegaraan dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah.Dalam
masa empat Khulafa al-Rasyidin saja
kita lihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama
sekali dalam masalah suksesi.Misalnya Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama
melalui pemilihan dalam sati pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah
nabi wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak
melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui
penunjukan dan wasiat pendahulunya, kendatipun Abub Bakar pernah mendiskusikan
dengan sahabat-sahabat lain sebelumnya secara tertutup. Utsman bin Affan
menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang
telah ditetapkan olah Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib
diangkat menjadinKhalifah yang keempat melalui pemilihan yang
penyelenggaraannya jauh dari sempurnah.
Penyelenggaraan Negara di masa Bani Umayyah telah
lebih jauh lagi dari ajaran sebenarnya dibandingkan dengan praktek masa nabi
Muhammad. Pada masa ini hamper tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan,
terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi telah berubah dari praktek
sebelumnya para Khulafa al-Rasyidin
yang selalu menggunakan musyawarah, menjadi sistem penunjukan terhadap anaknya
atau keturunannya yang lain. Tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan melalui
kekerasan senjata.Demuikian juga praktek sistem kenegaraan dimasa Bani Abbasiah
tidak banyak perbedaannya dengan Umayyah.
Dimasa kemunduran Islam, umat Islam malah hamper
tidak mempunyai Negara, karena kebanyakan bangsa muslim ketika itu berada
dibawah penjajahan Barat baik Inggris, Perancis, Portugis, Spanyol, Italia,
maupun Belanda. Tetapi keinginan untuk mendirikan Negara sendiri tetap ada,
karena itu dalam sejarah kita lihat dimana-mana umat Islam dalam periode
selanjutnya memberontak untuk melepaskan diri dari penjajah.Setelah mendapatkan
kemerdekaan umat Islam mulai menghadapi masalah baru yaitu bagaimanakah
sebenarnya Negara Islam itu?
Berdasarkan pengalaman inilah sejumlah ilmuwan
muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negasa
Islam. Tokoh dan ilmuwan yang pernah member gagasan dalam massalah ini, antara
lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abdul Razik,
Thaha Husei, Husein Haikal, Hasam Al-Banna, Iqbal, Al-Mawdudi dan Fazlur
Rahman. Sesuai dengan zamannya dan latar belakang sosial politik dimasa
pendidikan yang berbeda mereka telah mengemukakan pendapat-pendapatnya yang
saling berbeda pula .
Sebenarnya dimasa silam –periode klasik dan abad
pertengahan_ banyak pakar Islam telah berusaha merumuskan sistem ketatanegaraan
secara Islam, baik itu berupa bentuk
Negara maupun syarat-syarat kepala Negara dan lain sebabaginya. Misalnya pendapat
al-Mawardi (w. 450/1058) mengenai bentuk Negara kendatipun pemimpin negara
dipilih tetapi dia tetap memilih Negara sistem monarki yaitu sistem kerajaan
yang sedang berkembang dimassanya.Al-Mawardi juga memberi syarat calon pemimpin
Negara harus berbangsa Arab dan bersuku Quraisy.Ibnu Khaldun (w. 809/1406) yang
hidup lama setelah Al-Mawardi juga masih mensyaratkan seorang pemimpin Negara
Islam harus bersuku Quraisy.Syarat yang dikemukakan oleh kedua pakar Negara
Islam ini untuk sekarang tentu tidak realistis.Demikian juga dengan bentuk pemerintahan
monarki, nampaknya sudah dikritik, misalnya tidak berdasar dari Islam.
Mengkritisi teori-teori yang pernah ditulis si masa
klasik dan pertengahan, banyak hal yang tidak sesuai lagi untuk diterapkan,
bahkan sebagian teorinya malah benar-benar sangat utopian yang dimasa merekapun
tidak mungkin terwujud dalam dunia nyata.Sejalan dengan perkembangan zaman,
sejumlah pakar Islam modern telah memunculkan gagasan-gagasan baru sesuai
dengan alam politik yang berkembang. Berbeda dengan pemikir-pemikir Islam di masa klasik dan abad pertengahan
yang mempunyai visi sama mengenai bentuk pemerintahan yaitu lebih memilih
bentuk monarki, pemikir Islam kontemporer memiliki visi yang beragam.
Demikian juga mengenai teori kedaulatan, suatu
pertanyaan pernah muncul dan penting untuk dijawab, sebenarnya siapa yang
berdaulat atas Negara Islam, rakyat atau Tuhan. Imam Khomaini (jelas-jelas
mengatakan bahwa dalam pemerintahan Islam kedaulatannya hanya milik Allah
semata). Demikian juga Abu al-A’la Mawdudi (w. 1979) menolak demokrasi secara
principal, bahkan menganggapnya sama dengan syirik. Dia beralasan bahwa dalam
demokrasi itu rakyat dapat menetapkan hukum sendiri dan karenanya dapat pula
melaksanakan semua aspirasi yang mereka miliki, padahal sebenarnya rakyat
muslim tidak dapat berbuat seperti itu, kebebasan mereka dibatasi oleh Allah.
Fazlur Rahman menolak konsep kedaulatan Tuhan
seperti yang dikemukakan Imam Khomaini dan Mawdudi. Menurut Fazlur Rahman, bila
kita mengakui pendapat seperti itu berarti kita mengakui bahwa Allah itu
berdaulat secara politik. Fazlur Rahman juga tidak setuju dengan syarat kepala
Negara suku Quraisy yang diberikan oleh pakar Islam klasik, kendatipun pendapat
itu berasal dari hadist nabi yang
diucapkan kembali oleh Abu Bakar ketika pertemuan di Balai Saidah.Tampaknya
Rahman melihat hadis ittu tidak mempunyai konteks dengan zaman sekarang.
Fazlur Rahman lebih memilih sistem pemerintahan
demokrasi, karenanya kepala Negara harus dipilih secara bebas oleh
rakyat.Meskipun Rahman cenderung memilih Negara demokrasi tetapi dia tidak
sependapat dengan sistem banyak partai seperti diterapkan di Negara-negara
Barat di masa kontemporer ini.Islam memang memerintahkan agar
persoalan-persoalan kaum muslimin ditanggulangi melalui syura, namun menurut
Fazlur Rahman, konsep syura-ijma’tidak
dapat disejajarkan dengan sistem banyak partai.Fazlur Rahman sadar bahwa sistem
satu partai memiliki beberapa kelemahan, tetapi menurut Fazlur Rahman sistem
banyak partai memiliki lebih banyak kelemahan lagi.
Dan ilustrasi yang telah diterangkan di atas
terlihat banyak konsep-konsep dan cara
pandang baru yyang diajukan oleh Fazlur Rahman mengenai Negara Islam bila
dibandingkan dengan konsep-konsep yang ditulis oleh pakar Negara Islam di masa
klasik dan abad pertengahan. Kendatipu dalam periode yang sama dengan kehidupan
Fazlur Rahman terdapat beberapa ulama
yang mengajukan ide-ide dalam masalah yang sama tetapi terlihat ada
perbedaan cukup tajam diantara mereka. Fazlur Rahman behkan menolak sebagian
konsep Negara Barat modern, sekalipun selama ini telah diidolakan oleh sebagian
umat Islam.Tetapi sejauhmana konsep Fazlur Rahman lebih rasional dan dapat
diterima lebih dari pakar sebelumnya dan pakar semasa yang menjadi objek
penelitian buku ini. Penelitian ini menjadi penting karena selain akan
memberikan gambaran mengenai konsep Negara Islam Fazlur Rakman secara lebih
rinci sengga dapat dibedakan dengan konsep Negara Islam yang dirumuskan oleh
pakar lainnya, penelitian ini juga akan menggambarkan mana yang lebih rasional
dan dapat di aplikasikan dalam penyelenggaraan sebuah Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar