Sabtu, 22 Agustus 2015

Tiga visi konsep Negara Islam



Diskusi mengenai apakah Islam mempunyai konsepsi tentang sistem kenegaraan atau tidak, nampaknya terus menjadi topic yang menarik untuk dibicarakan.Para ilmuan dan aktifis dalam decade terakhir ini termasuk ilmuwan Indonesia terutama sekali intelektual kampus sering mendikusikannya.Bermacam pendapat telah muncul  dalam rangka menganalisis teori tentang kependudukan Negara dalam agama Islam. Tempaknya pengelompokan kepada tiga golongan seperti disimpulkan oleh H. Munawir Sjadzali mewarnai klasifikasi visi para pakar Islam masa kontemporer mengenai konsepsi Negara dalam Islam
Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara.Golongan ini menyatakan bahwa dalam bernegara, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, tetapi sebaliknya hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam.Lebih konkret lagi sistem ketatanegaraan yang dijadikan sebagai acuan adalah sistem Negara yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin dimasa awal perkembangan Islam.
Golongan kedua berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biaa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik.Menurut pendapat golongan ini, tidak pernah bertugas dan atau bermaksud untuk mendirika dan mengepalai suatu Negara.golongan ketiga tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang didalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan yang lengkap pula. Namun, aliran ini tidak sependapat pula bila Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan. Menurut mereka Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja.Karena itu, menurut mereka, kendatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori lengkap, namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.
Apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam –apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan Negara atau tidak- kenyataannya umat Islam selalu membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami. Karena, bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu kekuatan (institusi politik).Untuk menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan ketertiban misalnya, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau Negara.Andaikata kebijaksanaaan-kebijaksanaan itu mengacu kepada tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturan keamanannya seharusnya yang Islami pula.Adalah suatu hal yang kurang tepat bila ingin menegakkan segala prinsip-prinsip Islami tetapi menggunakan sistem yang non Islami.Dari sudut inilah umat Islam membutuhkan sebuah Negara dengan sistem yang Islami.
Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa Negara itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah.Misalnya, ketika nabi masih di Mekkah (611-622) tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena kekuatan politik didominasi oleh kaum aristocrat Quraisy yang memusuhi nabi.Tetapi setelah hijrah ke Madinah, dimana nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatan menggunakan aturan yang disepakati bersama berupa Piagam Madinah.
Kehidupan nabi bersama umatnya pada periode Madinah ini (622-632), oleh banyak pakar dianggap sebagai kehidupan yang bernegara.Penilaian ini tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumrn bahwa ketika itu telah terwujud sebuah Negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa.Demikian juga penilaian terhadap nabi ketika itu telah bertindak tidak hanya sebagai nabi tapinjuga sebagai kepala Negara, missalnya memutuskan hukum, mengirim dan menerima urusan dan juga memimpin peperangan.
Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah nabi tidak meninggalkan satu sunnah yang pasti bagaimana sistem penyelenggaraan Negara itu, misalnya bagaimana sistem pengangkatan kepala Negara itu, siapa yang berhak menetapkan undang-undang, kepada siapa kepala Negara bertanggung jawab dan bagaimana bentuk pertanggungjawaban tersebut. Untuk mengikuti nabi sepenuhnya tentu tidak mungkin.Pertama, dia sebagai seorang rasul yang selalu mendapat petunjuk dari Allah.Kedua, dari kenyataan terlihat ketundukan rakyat padanya pada dasarnya karena beliau sebagai rasul Allah, kendatipun dia tetap memperlihatkan dimensi-dimensi manusia biasa.Ketiga, hukum yang diberlakukan lebih banyak berdasarkan wahyu Allah bahkan ucapan dan tindakan-tindakannya pun selalu mendapat pengawasan dari Allah.
Karena ketidakjelasan inilah kita lihat praktik sistem kenegaraan dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah.Dalam masa empat Khulafa al-Rasyidin saja kita lihat kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi, terutama sekali dalam masalah suksesi.Misalnya Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam sati pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah nabi wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan wasiat pendahulunya, kendatipun Abub Bakar pernah mendiskusikan dengan sahabat-sahabat lain sebelumnya secara tertutup. Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok orang-orang yang telah ditetapkan olah Umar sebelum ia wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadinKhalifah yang keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurnah.
Penyelenggaraan Negara di masa Bani Umayyah telah lebih jauh lagi dari ajaran sebenarnya dibandingkan dengan praktek masa nabi Muhammad. Pada masa ini hamper tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan, terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi telah berubah dari praktek sebelumnya para Khulafa al-Rasyidin yang selalu menggunakan musyawarah, menjadi sistem penunjukan terhadap anaknya atau keturunannya yang lain. Tidak jarang terjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan senjata.Demuikian juga praktek sistem kenegaraan dimasa Bani Abbasiah tidak banyak perbedaannya dengan Umayyah.
Dimasa kemunduran Islam, umat Islam malah hamper tidak mempunyai Negara, karena kebanyakan bangsa muslim ketika itu berada dibawah penjajahan Barat baik Inggris, Perancis, Portugis, Spanyol, Italia, maupun Belanda. Tetapi keinginan untuk mendirikan Negara sendiri tetap ada, karena itu dalam sejarah kita lihat dimana-mana umat Islam dalam periode selanjutnya memberontak untuk melepaskan diri dari penjajah.Setelah mendapatkan kemerdekaan umat Islam mulai menghadapi masalah baru yaitu bagaimanakah sebenarnya Negara Islam itu?
Berdasarkan pengalaman inilah sejumlah ilmuwan muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-konsep dasar mengenai negasa Islam. Tokoh dan ilmuwan yang pernah member gagasan dalam massalah ini, antara lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abdul Razik, Thaha Husei, Husein Haikal, Hasam Al-Banna, Iqbal, Al-Mawdudi dan Fazlur Rahman. Sesuai dengan zamannya dan latar belakang sosial politik dimasa pendidikan yang berbeda mereka telah mengemukakan pendapat-pendapatnya yang saling berbeda pula  .
Sebenarnya dimasa silam –periode klasik dan abad pertengahan_ banyak pakar Islam telah berusaha merumuskan sistem ketatanegaraan secara Islam, baik itu berupa  bentuk Negara maupun syarat-syarat kepala Negara dan lain sebabaginya. Misalnya pendapat al-Mawardi (w. 450/1058) mengenai bentuk Negara kendatipun pemimpin negara dipilih tetapi dia tetap memilih Negara sistem monarki yaitu sistem kerajaan yang sedang berkembang dimassanya.Al-Mawardi juga memberi syarat calon pemimpin Negara harus berbangsa Arab dan bersuku Quraisy.Ibnu Khaldun (w. 809/1406) yang hidup lama setelah Al-Mawardi juga masih mensyaratkan seorang pemimpin Negara Islam harus bersuku Quraisy.Syarat yang dikemukakan oleh kedua pakar Negara Islam ini untuk sekarang tentu tidak realistis.Demikian juga dengan bentuk pemerintahan monarki, nampaknya sudah dikritik, misalnya tidak berdasar dari Islam.
Mengkritisi teori-teori yang pernah ditulis si masa klasik dan pertengahan, banyak hal yang tidak sesuai lagi untuk diterapkan, bahkan sebagian teorinya malah benar-benar sangat utopian yang dimasa merekapun tidak mungkin terwujud dalam dunia nyata.Sejalan dengan perkembangan zaman, sejumlah pakar Islam modern telah memunculkan gagasan-gagasan baru sesuai dengan alam politik yang berkembang. Berbeda dengan pemikir-pemikir  Islam di masa klasik dan abad pertengahan yang mempunyai visi sama mengenai bentuk pemerintahan yaitu lebih memilih bentuk monarki, pemikir Islam kontemporer memiliki visi yang beragam.
Demikian juga mengenai teori kedaulatan, suatu pertanyaan pernah muncul dan penting untuk dijawab, sebenarnya siapa yang berdaulat atas Negara Islam, rakyat atau Tuhan. Imam Khomaini (jelas-jelas mengatakan bahwa dalam pemerintahan Islam kedaulatannya hanya milik Allah semata). Demikian juga Abu al-A’la Mawdudi (w. 1979) menolak demokrasi secara principal, bahkan menganggapnya sama dengan syirik. Dia beralasan bahwa dalam demokrasi itu rakyat dapat menetapkan hukum sendiri dan karenanya dapat pula melaksanakan semua aspirasi yang mereka miliki, padahal sebenarnya rakyat muslim tidak dapat berbuat seperti itu, kebebasan mereka dibatasi oleh Allah.
Fazlur Rahman menolak konsep kedaulatan Tuhan seperti yang dikemukakan Imam Khomaini dan Mawdudi. Menurut Fazlur Rahman, bila kita mengakui pendapat seperti itu berarti kita mengakui bahwa Allah itu berdaulat secara politik. Fazlur Rahman juga tidak setuju dengan syarat kepala Negara suku Quraisy yang diberikan oleh pakar Islam klasik, kendatipun pendapat itu berasal dari hadist nabi yang diucapkan kembali oleh Abu Bakar ketika pertemuan di Balai Saidah.Tampaknya Rahman melihat hadis ittu tidak mempunyai konteks dengan zaman sekarang.
Fazlur Rahman lebih memilih sistem pemerintahan demokrasi, karenanya kepala Negara harus dipilih secara bebas oleh rakyat.Meskipun Rahman cenderung memilih Negara demokrasi tetapi dia tidak sependapat dengan sistem banyak partai seperti diterapkan di Negara-negara Barat di masa kontemporer ini.Islam memang memerintahkan agar persoalan-persoalan kaum muslimin ditanggulangi melalui syura, namun menurut Fazlur Rahman, konsep syura-ijma’tidak dapat disejajarkan dengan sistem banyak partai.Fazlur Rahman sadar bahwa sistem satu partai memiliki beberapa kelemahan, tetapi menurut Fazlur Rahman sistem banyak partai memiliki lebih banyak kelemahan lagi.

Dan ilustrasi yang telah diterangkan di atas terlihat banyak konsep-konsep  dan cara pandang baru yyang diajukan oleh Fazlur Rahman mengenai Negara Islam bila dibandingkan dengan konsep-konsep yang ditulis oleh pakar Negara Islam di masa klasik dan abad pertengahan. Kendatipu dalam periode yang sama dengan kehidupan Fazlur Rahman terdapat beberapa ulama  yang mengajukan ide-ide dalam masalah yang sama tetapi terlihat ada perbedaan cukup tajam diantara mereka. Fazlur Rahman behkan menolak sebagian konsep Negara Barat modern, sekalipun selama ini telah diidolakan oleh sebagian umat Islam.Tetapi sejauhmana konsep Fazlur Rahman lebih rasional dan dapat diterima lebih dari pakar sebelumnya dan pakar semasa yang menjadi objek penelitian buku ini. Penelitian ini menjadi penting karena selain akan memberikan gambaran mengenai konsep Negara Islam Fazlur Rakman secara lebih rinci sengga dapat dibedakan dengan konsep Negara Islam yang dirumuskan oleh pakar lainnya, penelitian ini juga akan menggambarkan mana yang lebih rasional dan dapat di aplikasikan dalam penyelenggaraan sebuah Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar