Korupsi di tanah negeri, ibarat,
“warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh
aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih berganti.
Hampir semua segi kehidupan
terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor
yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terjadi dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan,
kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif
dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk
berperilaku korup.
Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji
tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik,
kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen dan
aspek organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparasi, aspek hukum,
terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum
serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung
perilaku anti korupsi.
- FAKTOR
PENYEBAB KORUPSI
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku
atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku
matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih
“mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi
( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh
pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan
lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek
organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada
(Arifin:2000).
Secara
umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor politik,
hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam
Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab
terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan
birokrasi, dan faktor transnasional.
- FAKTOR
POLITIK
Politik
merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika
terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan,
bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Perilaku korup seperti menyuap,
politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi
pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap,
pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan
pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto:
2002).
Penelitian James Scott (Mochtar
Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan
politik eksekutif dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan
perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isi
kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan struktural untuk korupsi
itu betul-betul terwujud dalam tindakan korupsi pada pejabatnya.
Robert Klitgaard (2005) menjelaskan
bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D-A=C. Simbol M adalah
monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountability
(pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa
korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan
kewenangan yang begitu besar tanpa pertanggung -jawaban.
- FAKTOR
HUKUM
Faktor
hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan
dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah
ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang
tidak jelas tegas (non lext certa)
sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik
yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan
perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu
ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu
yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan
realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami
resistensi.
Penyebab
keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, Tawar-menawar
dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga
muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik uang dalam
pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang-undangan
dibidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi
tafsir serta tupang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah dimanfaat untuk
menyelamatkan pihak-pihak pemesan.
Selaras
dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004)
menyebut tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam
peraturan perundang-undangan, yang mencakup; (a) adanya peraturan
perundang-undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu (b) kualitas
peracuran perundang-undangan kurang memadai,
(c)
peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e)
peraturan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya lembaga
evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Kenyataan bahwa berbagai produk
hukum di masa Orde Baru sangat ditentukan oleh konstelasi politik untuk
melanggengkan kekuasaan di era Reformasi pun ternyata masih sajaterjadi. Banyak
produk hukum menjadi ajang perebutan
legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan
mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.
Dari beberapa hal yang disampaikan,
yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum,
maka masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Kemampuan
lobi kelompok kepentingan dan pengusaha terhadap pejabat publik dengan
menggunakan uang sogokan., hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang
mempunyai motif koruptif, masyakat hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.
Fakta ini memperlihatkan bahwa
terjadinya korupsi sangat mungkin karena aspek peraturan perundang-undangan
yang lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Disamping tidak
bagisnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, praktik
penegakan hukum juga masih dilihat berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum
dari tujuannya. Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus yang
menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk
putusan-putusan pengadilan.
- FAKTOR
EKONOMI
Faktor
ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain
rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab
terjadinya korupsi, di antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi
dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka
dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi.pernyataan tidak
benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan
Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi bukan
disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebakan oleh korupsi
(Pope: 2003)
Menurut
Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk.
Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan
dalam sistem peradilan, untuk ketidak stabilan lengkap dalam identitas bangsa,
ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga
biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.
- FAKTOR
ORGANISASI
Organisasi
dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem pengorganisasian
lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau dimana
korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka
peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi.
Aspek-aspek
terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a) kurang adanya
teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem
akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi
didalam organisasinya.
Focus
attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam gideline untuk
memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-anggota dan organisasi
sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki arah
yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang tidak, serta apa yang harus dikerjakan dalam
kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh
karenanya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik didasari
maupun tidak.
Dalam
fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi dapat
dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tidakan
dan keputusan-keputusannya. Karena sebuah organisassi dapat berfungsi dengan
baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri dibawah sebuah pola
tingkah laku (yang normalitif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan
bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti
“aturan permainan” yang ditentukan.
Menurut
Baswir pada dasarnya perakar pada bertahannya jenis birokasi patrinominal. Dalam
biirokrasi ini, dilakukan oleh para birokrat memang sulit untuk diuhindari.
Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas.
Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat
kenegaraan bangsa ini , sehingga cenderung masih mentabukan sikap opopsisi.
Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara
hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merabaklah
budaya korupsi itu.
Di
banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi adalah akibat dari perilaku-perilaku
yang membudaya. Anggapan ini lama-lama akan berubah jika uang pelicin yang
diminta semakin besar, atau konsumen tahu bahwa kelangkaan yang melandasi uang
semir sengaja diciptakan atau justru prosedur dan proses yang lebih baik bisa
diciptakan.
- PENYEBAB
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORETIS
Culltural
determinisme sering dipakai sebagai acuan ketika mempelajari penyebab terjadinya korupsi. Sebagai mana ungkapan
Fiona Robertson-Snape (1999) bahwa penjelasan kultural praktik korupsi di
Indonesia di hubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan kuno orang jawa.
Padahal bila dirulut perilaku korup pada dasarnya merupakan sebuah fenomena
sosiologis yang memiliki implikasi ekonomi dan politik yang terkait dengan
jabaran beberapa teori. Teori tersebut antara lain means-end scheme yang di
perkenalkan oleh Robert Merton. Dalam teori yang di tokohi oleh Robert Merton
ini sebagai mana dikutip Handoyo (2009: 55) ini dinyatakan bahwa korupsi
merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh oleh tekanan sosial,
sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.
Terori
lain yang menjabarkan terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas Sosial yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim (1858-1917) teori ini memandang bahwa watak
manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakat. Solidaritas
sosial itu sendiri memang merupakan unit yang abstrak. Emile Durkheim
berpandangan bahwa individu secara moral, netral dan masyarakatlah yang
menciptakan kepribadiannnya.
Teori
yang juga membahas mengenai perilaku korupsi, dengan baik dihadirkan oleh Jack
Bologne (Bologne: 2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory
yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan)
dan Exporsure ( Pengungkapan). Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para
pelaku korupsi.
Korupptor
adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opprtuniy, merupakan sistem
yang memberi peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa diperluas keadaan
organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan
bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Need, yaitu sikap mental yang tidak
pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai.
Exposure, hukaman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak
memberikan efek jera pelaku maupun orang lain.
- FAKTOR
INTERNAL DAN K=EKSTERNAL PENYEBAB KORUPSI
Dari
beberapa uraian diatas, tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang
berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut beberapa hal yang bersifat
kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi,
tapi bisa juga berasal dari situasi liungkungan ytanng kondusif bagi seorang
untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi
dapat di kelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
- FAKTOR
INTERNAL, MERUPAKAN FAKTOR PENDORONG KORUPSI DARI DALAM DIRI, YANG DAPAT
DIRINCI MENJADI:
- Aspek Perilaku
Individu
·
Sifat
tamak/rakus manusia
Korupsi,
bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membuuhkan makan. Korupsi adalah
kehjahatan orang profesional yang rakus. Sedah berkecukupan, tapi serakah.
Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang pada diri sendir, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka
tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
·
Moral
yang kurang kuat
Seorang
yang moralnya tidak kuat cenderung tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu
bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
·
Gaya
hidup konsumtif
Kehidupan
di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seorang konsumtif. Perilaku
konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka
peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
adalah dengan korupsi
·
Aspek Sosial
Perilaku
korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa
lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk
korupsi dan mengalahkan sikap baik seseorang yang sudah menjadi tralis
pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
- FAKTOR
EKSTERNAL, PEMICU PERILAKU KORUP YANG DISEBABKAN OLEH FAKTOR DI LUAR DIR
PELAKU.
- Aspek sikap
masyarakatterhadap korupsi
Pada
umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh
segelintir oknum dalam organisasi . akibat sikap menutup ini pelanggaran
korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap
masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:
·
Nilai-nilai di masyakat kondusif untuk
terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya,
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.
·
Masyarakat kurang menyadari bahwa korban
utama korupsi adalah masyarkata sendiri. Anggapan umum terhadap peristiwa
korupsi, sosok yang paling dirgikan adalah negara. Padahal bila negara merugi,
esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga.
·
Masyarakat kurang menyadari dirinya
terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat.
Hal ini kuurang disadari oleh masyarakat.
·
Masyarakat kurang menyadari bahwa
korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam
agenda pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa
masalah korupsi adalah tanggungjawab pemerintah semata.
- Aspek ekonomi
Pendapatan
tidak menutupi kebutuhan. Dalam tentang kehidupan ada kemungkinan seseorang
mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka peluang
bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan
korupsi.
- Aspek Politis
Menurut
Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dulakukan untuk
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku unuk mempengaruhi orang-orang
agar bertingkah laku sesuai harapan masyarakat. Dengan demikian instabilitas
politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat
potensi menyebabkan perilaku korupsi.
- Aspek Organisasi
·
Kurang
adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi
pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting
bagi bawahannya. Bila pemimpin bisa memberi keteladanan yang baik dihadapan
bawahannya, maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang
sama dengan atasannya.
·
Tidak
adanya kultur organisasi yang benar
Kultur
organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kutur
organisasi tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai situasi
tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi.
·
Kurang
memadainya sistem akuntabilitas
Institusi
pemerintahan umumnya pada suatu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan
misi yang diembannya., dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus
dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap
instasi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil
mencapai sasaran atau tidak.
·
Kelemahan
sistem pengendalian manajemen
Pengendalian
manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebiuah organisasi.
·
lemahnya
pengawasan
Secara
umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal dan pengawasan
eksternal. Pengawasan ini kurang efektif karena beberapa faktor, diantaranya ,
adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional
pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun maupun pemerintah
oleh pengawas sendiri.