Sabtu, 22 Agustus 2015

pengertian dan bentuk korupsi


Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola adminnistrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan medi, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokosai, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan dengan pemaknaannya dengan politik.
  1. DEFINISI KORUPSI
Kata “korupsi” berasal dari bahasa latin “coruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau “corupptus” (Webster student dictionary: 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corupptio” berasal dari kata “corrumpere” suatu bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin tersebut kemudian dikenal dengan istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Prancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda).
Kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Di Malaysia terdapat aturan anti korupsi,dipakai kata “resuah” berasal dari bahasa Arab “risywah” menurut kamus umum Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Andi Hamzah: 2002). Risywah (suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seorang kepada hakim atau yang lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (al-Misbah al-Munir al-Fayumi al-Muhalla-Ibnu Hazm). Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar.
Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT, jadi diharamkan mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga mediator antara penyuap dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa (kasyful Qona’ 6/316, NihayatulMuhtraj 8/243 Al-Qurtuby 6/183 Ibnu Abidin 4/304, Al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain,disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :
  1. Korup artinya busuk suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
  2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya; dan
  3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi

Dengan demikian korupsi adalah suatu yang busuk, jahat, dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aperatur pemerintah, penyelewegan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
  1. BENTUK-BENTUK KORUPSI
Berikut dipaparkan bentuk-bentuk korupsi yang di ambil dari buku suku yang dikeluarkan oelh KPK atau Komisi Pemberantas Korupsi (KPK:2006)
NO
BENTUK KORUPSI
PERBUATAN KORUPSI
1
Kerugian Keuangan Negara
  • Secara melawan hukum melakukan perb -uatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
  • Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalah- gunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada.
2
Suap Menyuap
  • Memberi atau menjajikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara .... dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;
  • Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara .... karena atau berhubungan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;
  • Bagi pegawai negeri atau penylenggara yang menerima  pemberian atau janji;
  • Meberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah /janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut;
  • Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena keku- asaan atau kewenangan yang berhubun- gan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
  • Memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara;
  • Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi  putusan perkara.
3
Penggelapan Dalam Jabatan
  • Pegawai Negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang di simpan karena jabatannya, atau uang/surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;
  • Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk memeriksa administrasi;
  • Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
  • Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang di tugaskan menjalankan suatu jabatan umum  secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

4
Pemerasan
  • Pegawai Negeri atau penyelenggara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
  • Pegawai Negeri atau penyelenggara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah olah merupakan hutang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut  bukan merupakan hutang;
  • Pegawai  Negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta  atau menerima atau memotong pembayarankepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada khas umum, seolah-olah Pegawai  Negeri atau penyelenggara negara yang lain atau khas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya, padahal diketahui hal tersebut bukan merupakan hutang.
5
Perbuatan Curang
  • Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjualan bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
  • Setiap orang yang bertugas mengawasai pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang;
  • Setiap orang yang pada waktu penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
  • Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang TNI  atau Kepolosian Negara RI melakukan pebuatan curang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang;
6
Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan
  • Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik langsug maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau penyewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya..
7
Gratifikasi 
  • Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

Berikut jenis tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan:
  1. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
  2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara
  3. Menyuap pegawai negeri
  4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
  5. Pegawai negeri menerima suap
  6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
  7. Menyuap hakim
  8. Menyuap advokat
  9. Hakim dan advokat menerima suap
  10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau meberikan penggelapan
  11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
  12. Pegawai negeri merusakkan bukti
  13. Pegawai nnegeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
  14. Pegawai negeri membantu orang lain meruskkan bukti
  15. Pegawai negeri memeras
  16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
  17. Pemborong berbuat curang
  18. Pengawas proyek mebiarkan perbuatan curang
  19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
  20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
  21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
  22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain
  23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
  24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor pada KPK
  25. Merintangi proses pemeriksaan
  26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaanya
  27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
  28. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
  29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
  30. Saksi yang membuka identitas pelapor

Sejarah Korupsi


Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dahulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, sampai masa Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua yaitu periode pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan (Amin Rahayu).

No
PERIODE
PERILAKU KORUPSI DAN UPAYA  PEMBERANTASN
1
PRA KEMERDEKAAN
  1. MASA PEMERINTAHAN KERAJAAN
  • “Budaya-trdisi korupsi yang tidak ghenti karena didorong oleh motif kekuasaan,kekayaan dan wanita
  • Perbutan kekuasaan dikerajaan Singosari (sampai tujuh keturnan yang membalas dendam tersebut kruasaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya)
  • Demak ( Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang)
  • Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
    • Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-Putra Dewa.
    • Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
    • Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan di preteli giginya taringnya oleh Belanda .
  1. MASA KOLONIAL BELANDA
-          Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti,VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
-          Tahun 1757/1758 Voc memecah Kesunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran.
-          Kesultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
-          Dalam kalangan elit kerajaan, Raja lebih suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
-          Budaya yang sangat tertutup dan penuh “kecuasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang terkadang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tummenggung. Abdi dalem di ketemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
-          Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa di tiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800-1942) minus Zaman Inggris (1811-1816), akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
-          Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan terhadap penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh Bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja mislnyta kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sitem itu adalah membudayakan tanam produktif di masayarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejah-teraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
2
PASCA KEMERDEKAAN
  1. ORDE LAMA
-          Dibentuk Badan Pemberantas Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.  Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
-          Pejabat pemerintah harus mengisi formulir yang telah disediakan – istilah sekarang: daftar kekayaan pejabat negara.dalam perkembangannya kemudian pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
-          Dalam kurun waktu sejak 3 bulan Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih 11 miliar, jumlah yang sangat signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.


  1. ORDE BARU
-          Dibentuk tim pemberantas korupsi (TPK) yang di ketuai Jaksa Agung.
-          Tahu 1970 terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, Mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
-          Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi.
-          Dibentulk komite empat beranggota tokoh-tokoh tua yang  dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun komite ini hanya “macan ompong’ karena hasil temuannya tentang korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
  1. REFORMASI
-          Pada era reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “virus korupsi yang sangat ganas
-          Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
-          Presiden Abdul Rahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pembera- ntasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk pemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judical review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu Indonesia mengalami kemun- duran dalam upaya pemberantasan KKN.
-          Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gusdur didera kasus Buloggate.
-          Di masa pemerintaha Megawati, wibawa hukum semakin merosot, dimana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
-          Komisi Pemberantas Korupsi, atau yang disingkat KPK, adalah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan membe- rantas korupsi di Indonesia.komisi ini didirikan berdasarkan UU RI No 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberan- tasan Korupsi.
-          Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan instansi lain untuk terciptanya jalannya seuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberan-tasan korupsi.

FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

           
            Korupsi di tanah negeri, ibarat, “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih berganti.
            Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terjadi dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan, aspek managemen dan aspek organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan transparasi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung perilaku anti korupsi.

  1. FAKTOR PENYEBAB KORUPSI
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku matrealistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi ( ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian “terpaksa” korupsi kalau sudah menjabat.
Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjasinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin:2000).
Secara umum faktor penyebab terjadinya korupsi dapat terjadi karena fsktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku yang berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW:2000) yang mengidentifikasi empat faktor penyebab terjadinya korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomin dan birokrasi, dan faktor transnasional.

  1. FAKTOR POLITIK
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan.
            Perilaku korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi yang disebabkan oleh konstlelasi politik (Susanto: 2002).
            Penelitian James Scott (Mochtar Mas’oed: 1994) mendeskripsikan bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksekutif dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isi kebijakan, yang terjadi umumnya desakan kulturan dan struktural untuk korupsi itu betul-betul terwujud dalam tindakan korupsi pada pejabatnya.
            Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D-A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa pertanggung -jawaban.
  1. FAKTOR HUKUM
Faktor hukum dapat dilihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas tegas  (non lext certa) sehingga multi tafsir, kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran sehingga dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi.
Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, Tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga muncul aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktik politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang-undangan dibidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tupang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah dimanfaat untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan.
Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah: 2004)  menyebut tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang mencakup; (a) adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan kepentingan pihak-pihak tertentu (b) kualitas peracuran perundang-undangan kurang memadai,
(c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sanksi yang terlalu ringan, (e) peraturan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya lembaga evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
            Kenyataan bahwa berbagai produk hukum di masa Orde Baru sangat ditentukan oleh konstelasi politik untuk melanggengkan kekuasaan di era Reformasi pun ternyata masih sajaterjadi. Banyak produk hukum menjadi ajang perebutan  legitimasi bagi berbagai kepentingan kekuasaan politik, untuk tujuan mempertahankan dan mengakumulasi kekuasaan.
            Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha terhadap pejabat publik dengan menggunakan uang sogokan., hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif, masyakat hanya menikmati sisa-sisa hasil pembangunan.
            Fakta ini memperlihatkan bahwa terjadinya korupsi sangat mungkin karena aspek peraturan perundang-undangan yang lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Disamping tidak bagisnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, praktik penegakan hukum juga masih dilihat berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
  1. FAKTOR EKONOMI
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Selain rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, di antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi.pernyataan tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebakan oleh korupsi (Pope: 2003)
Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk ketidak stabilan lengkap dalam identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.
  1. FAKTOR ORGANISASI
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk melakukan korupsi.
Aspek-aspek terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas dalam instansi kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi didalam organisasinya.
Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam gideline untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-anggota dan organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang  tidak, serta apa yang harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik didasari maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan organisasi dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tidakan dan keputusan-keputusannya. Karena sebuah organisassi dapat berfungsi dengan baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri dibawah sebuah pola tingkah laku (yang normalitif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang ditentukan.
Menurut Baswir pada dasarnya perakar pada bertahannya jenis birokasi patrinominal. Dalam biirokrasi ini, dilakukan oleh para birokrat memang sulit untuk diuhindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini , sehingga cenderung masih mentabukan sikap opopsisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merabaklah budaya korupsi itu.
Di banyak negara berkembang muncul pandangan bahwa korupsi adalah akibat dari perilaku-perilaku yang membudaya. Anggapan ini lama-lama akan berubah jika uang pelicin yang diminta semakin besar, atau konsumen tahu bahwa kelangkaan yang melandasi uang semir sengaja diciptakan atau justru prosedur dan proses yang lebih baik bisa diciptakan.

  1. PENYEBAB KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORETIS
Culltural determinisme sering dipakai sebagai acuan ketika mempelajari penyebab  terjadinya korupsi. Sebagai mana ungkapan Fiona Robertson-Snape (1999) bahwa penjelasan kultural praktik korupsi di Indonesia di hubungkan dengan bukti-bukti kebiasaan-kebiasaan kuno orang jawa. Padahal bila dirulut perilaku korup pada dasarnya merupakan sebuah fenomena sosiologis yang memiliki implikasi ekonomi dan politik yang terkait dengan jabaran beberapa teori. Teori tersebut antara lain means-end scheme yang di perkenalkan oleh Robert Merton. Dalam teori yang di tokohi oleh Robert Merton ini sebagai mana dikutip Handoyo (2009: 55) ini dinyatakan bahwa korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh oleh tekanan sosial, sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.
Terori lain yang menjabarkan terjadinya korupsi adalah teori Solidaritas Sosial yang dikembangkan oleh Emile Durkheim (1858-1917) teori ini memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan dikendalikan oleh masyarakat. Solidaritas sosial itu sendiri memang merupakan unit yang abstrak. Emile Durkheim berpandangan bahwa individu secara moral, netral dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannnya.
Teori yang juga membahas mengenai perilaku korupsi, dengan baik dihadirkan oleh Jack Bologne (Bologne: 2006), yang dikenal dengan teori GONE. Ilustrasi GONE Theory yang meliputi Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan) dan Exporsure ( Pengungkapan). Greed, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.
Korupptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Opprtuniy, merupakan sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi, yang bisa diperluas keadaan organisasi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Need, yaitu sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Exposure, hukaman yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi yang tidak memberikan efek jera pelaku maupun orang lain.
  1. FAKTOR INTERNAL DAN K=EKSTERNAL PENYEBAB KORUPSI
Dari beberapa uraian diatas, tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut beberapa hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tapi bisa juga berasal dari situasi liungkungan ytanng kondusif bagi seorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat di kelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

  1. FAKTOR INTERNAL, MERUPAKAN FAKTOR PENDORONG KORUPSI DARI DALAM DIRI, YANG DAPAT DIRINCI MENJADI:
  1. Aspek Perilaku Individu
·         Sifat tamak/rakus manusia
Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membuuhkan makan. Korupsi adalah kehjahatan orang profesional yang rakus. Sedah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang pada diri sendir, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
·         Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang  lain yang memberi kesempatan untuk itu.
·         Gaya hidup konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seorang konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi  hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi
·          Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sikap baik seseorang yang sudah menjadi tralis pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
  1. FAKTOR EKSTERNAL, PEMICU PERILAKU KORUP YANG DISEBABKAN OLEH FAKTOR DI LUAR DIR PELAKU.
  1. Aspek sikap masyarakatterhadap korupsi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi . akibat sikap menutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:
·         Nilai-nilai di masyakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.
·         Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarkata sendiri. Anggapan umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling dirgikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga.
·         Masyarakat kurang menyadari dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kuurang disadari oleh masyarakat.
·         Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalah tanggungjawab pemerintah semata.
  1. Aspek ekonomi
Pendapatan tidak menutupi kebutuhan. Dalam tentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka peluang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
  1. Aspek Politis
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dulakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku unuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai harapan masyarakat. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
  1. Aspek Organisasi
·         Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin bisa memberi keteladanan yang baik dihadapan bawahannya, maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
·         Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kutur organisasi tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi.
·         Kurang memadainya sistem akuntabilitas
Institusi pemerintahan umumnya pada suatu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya., dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instasi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaran atau tidak.
·         Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebiuah organisasi.
·         lemahnya pengawasan
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan ini kurang efektif karena beberapa faktor, diantaranya , adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun maupun pemerintah oleh pengawas sendiri.